MTA yang Saya Tahu

Bila Anda berpikir bahwasanya MTA (Majlis Tafsir Al Qur'an) itu merupakan ajaran sempalan Agama Islam yang sesat, menghalalkan anjing, menganggap zina lebih baik daripada tahlilan, dan orang-orang yang mengaji di MTA dibayar uang 300ribu atau 500ribu. Maka, ada baiknya Anda membaca postingan berikut ini:

Belum genap satu tahun saya ikut ngaji di MTA binaan Blonotan, Piyungan, Bantul. Belum genap juga saya bisa memahami dan mengerti apa itu Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) secara lebih detil, lebih intens dan lebih komprehensif.
MTA yang saya tahu adalah Blonotan. Blonotan adalah tanah kelahiran para lelaki dengan bara api di tangan. Blonotan adalah sebuah kampung yang tak lain adalah sebuah noktah kecil pada sesobek peta di pojok Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dan Blonotan, yang saya tahu, telah memiliki andil memberikan kekuatan dan semangat baru bagi saya dan warga MTA binaan ini, yang punya cara sendiri mereprentasikan era kebangkitannya menuju tata nilai baru dalam beragama secara benar menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah.

MTA yang saya tahu adalah pengajian tanpa sarung. Tidak ada pecis — baik yang putih layaknya orang baru pulang haji dan tidak juga kopyah hitam yang sering dipakai tahlilan. Pecis putih dan kopyah hitam, dua simbol kesalehan, dalam kasus tertentu mungkin hanya tepat dipakai oleh seorang ustadz TPA atau rais atau kaum pada acara hajatan tahlilan, misalnya. Tapi kedua tutup kepala plus sarung bukan sebuah kewajiban dan tidak juga diharamkan untuk dipakai di sebuah majlis taklim bernama MTA.
MTA yang saya tahu adalah forum pengajian yang terasa aneh bagi saya yang awam ini. Sama anehnya ketika agama anak yatim bernama Muhammad ini hadir di sudut kampung di kota Makkah. Aneh? Karena setiap hadir, satu per satu, nama jamaah dipanggl untuk diabsen (di MTA sebutan jamaah lebih sering disebut dengan warga). Kok seperti anak sekolah ya, pikir saya dalam hati. Budi! Ada. Yono, tidak ada, karena sakit. Iwan, izin. Sekilas, ada aroma indoktrinasi. Ternyata tidak. Inilah metode untuk menjaga tingkat kedisiplinan dan keistiqomahan warga MTA agar kondisi keimanan mereka tetap pada frekuensi yang stabil. Jangan-jangan, ini aliran sesat yang akhir-akhir gencar di promosikan oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Masih bisik hati saya di sudut yang lain. Oh, ternyata tidak juga.
MTA yang saya tahu adalah pengajian tanpa ada ‘kitab kuning’ dengan ketebalan dan keangkeran huruf-huruf arab telanjang bulat di sana. Kemudian dikerangkeng dalam keangkuhan tembok dengan ketebalan tertentu bernama pesantren. Kitab kuning yang ada di MTA ternyata bernama brosur, selebaran berisi kutipan ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadist sahih Bukhori-Muslim yang disusun secara sistematis. Disamping brosur, hal terpenting yang harus dibawa adalah seperangkat alat tulis: pulpen dan buku tulis beserta Al-Qur’an terjemahan yang disatukan dalam sebuah tas sederhana dalam berbagai bentuk dan ukuran. Ketiga instrument ini umumnya telah lusuh karena kebanyakan dipakai. Bagi yang tidak biasa, pemandangan ini terasa ganjil. Sepintas, mereka (warga MTA) ini, seperti petugas debt collector kelas kampung, yang nagih utang kepada para ibu di gang-gang sempit di pojok sebuah kampung. Isi tas debt collector (baca: bank plecit), jelas, berisikan buku tebal dengan daftar nama ibu-ibu yang ditagih hutangnya. Sementara, isi buku tulis yang sama tebalnya di tangan warga MTA berisi daftar urutan surat dan ayat tematik Al-Qur’an lengkap dengan catatan ustadz.
MTA yang saya tahu adalah seperti sedang membaca buku ‘Muslim Tanpa Masjid’ (Kuntowijoyo, 2001). Dari sini lahirlah generasi muslim baru yang sedang bermekaran dalam memahami Islam tidak dari sumber–sumber konvensional. Tapi, dari sumber-sumber anonim seperti internet, radio, MP3, audio-video, CD, VCD, televisi, kursus, ruang seminar, bulletin dan brosur.
MTA yang saya tahu adalah sebuah sekolah, sebuah madrasah, atau sebuah pesantren tanpa dinding. Semacam ‘school without wall’. Karena tanpa dinding itulah, saya jadi memahami bahwa di majlis pengajian ini, saya bisa duduk sama rata, juga sama rendah dengan pak polisi, pak guru, pak tani, pak buruh tani, pak pedagang, dengan status sosial yang berbeda. Dengan cara seperti itu, saya bisa merasakan betapa indahnya kehangatan emosional di antara jamaah. Tidak seperti sering terlihat di televisi pada acara peringatan hari besar Islam, misalnya, di masjid Istiqlal. Untuk shaf pertama adalah barisan para pejabat tinggi, para elite politik, dan para bangsawan ahli agama.

MTA yang saya tahu adalah sebuah metode bagaimana saya bisa berinteraksi dengan rumus-rumus Tuhan bernama Al-Qur’an itu secara lebih intens dan lebih mesra, layaknya mambaca surat cinta dari sang kekasih yang lagi mabuk asmara. Kemudian, saya menjadi lebih faham dan lebih tahu, surat Yasin itu surat ke berapa dan Ayat Kursi itu ada pada surat apa. Dua hal tadi — surat Yasin dan ayat Kursi — di kalangan tertentu adalah sesuatu yang wajib dibaca pada malam Jum’at — mau Wage, Pon, Kliwon, Legi, dan Pahing, monggo… silakan.

MTA yang saya tahu adalah saya menjadi lebih cerdas dan lebih kaya secara spiritual. Sekarang ini, di tengah lingkungan sosial –ekonomi dan politik maupun kebudayaan yang sudah serba kapitalistik, di mana orang hanya mau berbuat sesuatu hanya kalau ada janji keuntungan materi. Ternyata masih bisa saya temukan begitu banyak orang datang ke majlis ini tidak berjenis kelamin cewek matre, terus ikut arus deras gombal globalisasi. Dari sini saya juga lebih faham bahwa yang membedakan manusia di sisi Tuhannya, ternyata hanya taqwanya (QS: 49:13). Bukan pangkat dan jabatannya, mobilnya, rumahnya, hapenya, dan lain-lainnya. Definisi taqwa disini akan lebih konsisten dan aplikatif kalau mau menerjemahkan ke dalam LIMA-I (5-I). I pertama: Ilmu, I kedua: Ikhlas, I ketiga: Istiqomah, I keempat Intensif, dan I terakhir Implementasi. LIMA-I tersebut adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. (Materi Kajian Ustadz Sutarto di MTA Blonotan, Sabtu Sore, 7/5/2011).
MTA yang saya tahu adalah ketika saya bersama lautan manusia yang memadati Gelora Olah Raga (GOR) Kabupaten Sragen, 15 Februari 2011, yang lalu. Pada acara detik-detik peresmian 13 cabang MTA di Kabupaten Sragen itu tak ada qiro’ah layaknya lomba MTQ dengan suara syahdu mendayu-dayu. Tak ada sari tilawah dengan ucapan dan intonasi bak pembacaan sajak-sajak WS Rendra.Tak ada bibir terucap sembari berpuja-puji tahlil. Tak ada gemuruh suara yel-yel ‘Hidup MTA’, ‘Hidup Ustadz Ahmad Sukino’, tak juga ada tepuk tangan membahana. Tak ada asap rokok. Juga tak ada adegan dramatis cium tangan.
MTA yang saya tahu pada setiap acara peresmian cabang atau perwakilan MTA baru, adalah sebentuk aktualisasi diri dari pitutur Jawa “Sepi ing pamrih rame ing gawe”. Suasana itu betul-betul senyap. Sepi nyenyet. Bersih dari hiruk pikuk. Duduk mereka tertib. Tetap duduk tidak beranjak dari duduknya sebelum acara betul-betul usai. Sekali lagi tidak ada puntung rokok berceceran di sana-sini. Karena memang, betul-betul tidak ada kepulan asap rokok.
MTA yang saya tahu pada setiap acara peresmian cabang atau perwakilan MTA baru, adalah saya tidak melihat ada pasukan khusus, semacam pasukan elit Navy SEALs-nya Amerika Serikat yang telah menewaskan gembong teroris, Osama bin Laden. Atau semacam pasukan berani mati dengan ciri-ciri kebal senjata tajam. Yang dimiliki MTA hanyalah satuan tugas (SATGAS), yang pada wajah satgas itu, sama sekali tidak menunjukkan wajah sebagaimana wajah satgas sebenarnya. Serem dan menakutkan. Tapi wajah itu mirip wajah seorang bapak yang ngemong putra-putrinya. Tampang yang tak menggertak itu wajah damai, ramah, dan murah senyum. Sama sekali tidak menunjukkan wajah keangkeran seorang bodyguard. Sekali lagi: tidak ada pasukan berani mati di MTA, yang ada justru pasukan berani hidup.

MTA yang saya tahu pada setiap acara peresmian cabang atau perwakilan MTA baru, adalah atmosfer yang demikian menyejukkan dan menyentuh hati. Sesuatu yang lain dari biasanya. Sesuatu yang sering terjadi sebagaimana jamaknya tablig akbar yang digelar di mana pun di seantero jagat Republik ini, selalu menunjukkan sebaliknya. Rusuh dan amburadul.
MTA yang saya tahu adalah atmosfer yang damai, yang tak lain adalah refleksi dari makna sejati dari majlis dzikir yang sebenar-benar majlis dzikir. Tidak merokok adalah dzikir itu sendiri. Tidak beranjak dari duduknya sebelum acara usai adalah dzikir itu sendiri. Tidak membuang sampah adalah dzikir sebenar-benar dzikir. Tampang para satgas yang tak menggertak itu wajah damai, ramah, dan murah senyum adalah juga untaian tasbih dzikir.Dan tablig akbar itu adalah dzikir itu sendiri dalam arti yang sebenarnya.
MTA adalah untaian butir-butir tasbih dzikir tablig akbar yang tertib itu adalah komposisi musik intrumentalia, dalam alunan nada tunggal mengagungkan asma Allah, melalui keberasamaan menegakkan dan meluruskan logika aqidah yang benar.
MTA yang saya tahu adalah ketika saya bersama lautan manusia yang memadati Gelora Olah Raga (GOR) Kabupaten Sragen, 15 Februari 2011 yang lalu. Langit terlihat mendung, bergulung-gulung, laksana burung-burung Ababil, memayungi tiga puluh ribuan jamaah dari berbagai macam kelas sosial-ekonomi yang berbeda, saat Al-Ustadz Drs. Ahmad Sukino naik mimbar untuk meyampaikan tausyiah. Gulungan itu seolah tangan-tangan raksasa yang memberi kehangatan dan kenyamanan atas berlangsungnya sebuah acara yang menggetarkan itu. Itulah invisible hand yang tak lain adalah nusratullah, pertolongan Allah. Sebuah bentuk intervensi Allah Azza wa Jalla dengan curahan dan cucuran rahmat dan hidayah-Nya atas dengungan lebah-lebah bernama komunitas atau warga Majlis Tafsir Al-Quran (MTA).
MTA yang saya tahu adalah ketika saya bertemu dengan seorang bapak bernama Zunaidan. Bapak satu anak ini adalah representasi salah satu wujud militansi warga MTA Blonotan, Piyungan, Bantul. Dari Pak Zunaidan pula saya tahu bahwa pintu surga itu adanya di Wonokromo. Sebuah kampung yang juga dikenal sebagai ‘kampung kyai’ (KH.Muhamad Fuad Riyadi, 2005), yang terletak di Kecamtan Pleret, Kabupaten Bantul.

“Kowe ngaji neng Blonotan iku, entuk apa to le-le, neng Blonotan (maksudnya MTA binaan Blonnotan) iku apa ana kyai-ne?” rayu ibunda Pak Zunaidan, mencoba mengindoktrinasi putra kesayangannya ini, dengan harapan sang putra tidak ngaji lagi di Blonotan. Kemudian ibundanya meneruskan “Ngaji iku sing bener ora ning Blonotan, tapi sing luwih bener ya neng Wonokromo, sing akeh kyai-ne”
Pak Zunaidan adalah satu contoh, contoh lainnya adalah Doni. Doni adalah anak muda bernama ABG, yang saat ini duduk di bangku SMU. Doni bagi saya adalah mukjizat awal abad dua puluh satu. Jarang — untuk tidak mengatakan tidak ada — anak muda seusia Doni ini mau meluangkan waktu untuk sesuatu yang tidak ada passion khas anak muda. Gaya rambutnya biasa-biasa saja. Tidak dicat warna-warni apalagi dengan gaya rambut sedikit nyentrik ala David Beckam atau Kika, vokalis Slang lengkap dengan celana jins belel yang robek sana-sini. Tampilannya, juga biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Sesekali dia juga bicara tentang timnas dengan logo Garuda di dada yang menyulut kontroversi itu. Tentang Gonzales yang masuk Islam, pemain asing yang telah menjadi warga negara Indonesia. Dan obrolan khas anak muda lainnya.
Adalah Pak Parjan — ini satu contoh lagi, lelaki dengan bara api di tangan. Bapak satu anak ini adalah contoh kongkret paling ekstrem di ‘ajang uji nyali’ MTA Blonotan. Saya katakan paling esktrim, karena bapak yang paling banyak bertanya di forum pengajian MTA ini tidak tinggal (sekali lagi: tidak tinggal) di zona aman (the comfort zone) di sebuah kampung bernama Muhammadiyah 3-K. Muhammadiyah 3-K adalah 3 tempat legendaris yang terdiri dari Kauman, Karangkajen, dan Kotagede. 3-K ini merupakan basis kekuatan utama pergerakan Muhammadiyah. (Ahmad Adaby Darban, 2000). Dengan kata lain, kampung 3-K ini sudah bersih dari berbagai praktek keagamaan dan kegiatan budaya yang oleh Muhammadiyah dikategorikan sebagai perbuatan tahayul, bid’ah dan churafat (TBC movement, pen).
Pak Parjan tidak hidup di wilayah 3-K itu, akan tetapi dia hidup di tengah-tengah sebuah kampung dengan ‘bau anyir darah’ Tahayul, Bid’ah dan Churafat (TBC) yang sangat kental. Konsekuensi logis sekaligus resiko hidup di kampung yang letaknya hanya 3 kilometer arah selatan Kecamatan Piyungan ini. Pak Parjan — juga Pak Zunaidan, Doni, dan warga MTA lainnya, adalah seperti teks terbuka yang terbaca pada bunyi sebuah hadist, “Akan datang suatu masa, orang-orang yang berpegang teguh pada agamanya pada zaman tersebut laksana memegang bara api.” (HR. Tirmidzi)

Pak Parjan dan kawan-kawan tidak sendirian. Banyak pak Parjan-pak Parjan lain di belahan bumi tanah Jawa yang lain, tepatnya di Kabupaten Puworejo, juga mengalami hal yang sama sebagaimana bunyi hadist tersebut di atas. Hari-hari ini, atau tepatnya dalam dua pekan terakhir menjelang Peresmian MTA Perwakilan Purworejo, yang Insya Allah akan diadakan pada hari Selasa, 17 Mei 2011 mendatang, bara api terus membara di genggaman tangan para warga MTA Purworejo. Bola api itu menggelinding terus, dimulai dari penolakan PCNU Purworejo (Suara Merdeka 01/04/11). Tulisan kolom opini (atau lebih tepatnya sebagai fintah) Ketua PBNU Prof. Said Agiel Siradj (Jawa Pos (05/04/11) bahwa jamaah MTA secara militan menghadang jamaah pengajian yang akan mengadakan yasinan dan tahlilan. Juga tindakan pengusiran dan penganiayaan terhadap 57 warga MTA Blora oleh kelompok tertentu.
MTA yang saya tahu dari paparan kisah-kisah diatas adalah seperti membaca dengan dada berguncang sebuah pemikiran Prof. Sayyed Hossein Nasr yang mengatakan: “Seseorang yang belum pernah bergetar hatinya oleh ke-Agung-an ayat-ayat suci Al-Qur’an dan Teladan Suci Nabi Muhammad SAW, tak akan pernah mampu menggetarkan dunia...!” (The Living Sufism, Temple University Press, 1985).
Peresmian MTA Perwakilan Purworejo, yang Insya Allah akan diadakan pada hari Selasa, 17 Mei 2011 mendatang, adalah sebuah eskpresi (ungkapan) dari real dzikir untuk menggetarkan sekaligus menyulut bara api itu agar terus membara tidak hanya ada pada diri-diri genggaman tangan para warga MTA Purworejo, tetapi juga bara api akan terus membakar warga-warga MTA lain, yang tersebar di penjuru Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), untuk kemudian akan menggetarkan dunia. Wallahu a’lam bissowab.

Tamat


Author:
Tulisan ini adalah opini pribadi saya sebagai warga Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) binaan Blonotan, Piyungan, Bantul. Site: http://azzaytuna.blogspot.com/
Download Kumpulan Soal CPNS

5 komentar:

Anonim mengatakan...

Dalam tataran akhlak n adab sy kira bagus, pendidikan nya bagus, anak sy jg alumni sekolah di SIT, tp ketika sudah menukik mnyangkut imamah, aqidah n manhaj barulah disitu bermasalah, bagi yg awam baru mngenal islam mgkin menganggapnya itulah islam yg sebenarnya tapi bagi yg sudah berkelana belajar ttg beragam pemikiran Islam makan akan mnyebut MTA sesat... Wallahu a'lam...

Anonim mengatakan...

Tidak ada.manusia yg mengucilkan manusia akibat aliran agama Islam tertentu. Islam harus mengikuti perkembangan jaman!! Tidak hanya berpanutan di jman rosull..?? Islamdi Indonesia tidka bisa terpishkan, ..dengan budaya Indonesia. !?? Tidak berpendot boleh.tapi tidak boleh membi' ah kan ..

Anonim mengatakan...

Reply komentar sebelumnya, bukankah suri teladan umat Islam adalah Nabi Muhammad? dan Al-Qur'an berlaku sepanjang masa, ada apa dengan Anda ini. Jika Islam Indonesia apa yang Anda maksud Islam kejawen? Dan komentar sebelumnya tentang orang awam dengan MTA, Anda siapa? MTA menyampaikan ajaran berdasarkan Al-Quran dan Hadist, jika satu pendapat mari, jika tidak saya rasa tidak perlu saling mencari perbedaan. Cukup jalani saja apa yang diyakini setiap individu.

Anonim mengatakan...

bagaimana mungkin kita bisa memahami Islam dengan baik jika hanya mengandalkan AlQur'an dan Hadits .. memang sepintar apa kita dibandingkan para imam di zaman salafus shaleh .. sebaik2 generasi Islam ada di zaman solafus shaleh .. belajar Islam yg paling benar adalah belajar menurut pemahaman ulama salafus sholeh (1 - 300 Hijriah) .. zaman tsb ada 4 Mujtahid Mutlak yaitu 4 imam Mahzab

Anonim mengatakan...

Mudah2an tulisan ini akan menjadi saksi kelak stelah di alam kubur☺️☺️☺️🤲🏻🤲🏻🙏🏻🙏🏻

Posting Komentar